Sabtu, 16 Agustus 2014

ILMU PENGETAHUAN SEHUBUNGAN DENGANSEJARAH FISIKA

1.      ILMU PENGETAHUAN SEHUBUNGAN DENGANSEJARAH FISIKA

Fisika adalah ilmu pengetahuan yang paling mendasar, karena
berhubungan dengan perilaku dan struktur benda. Tujuan utama sains,
termasuk fisika, umumnya dianggap merupakan usaha untuk mencari
keteraturan dalam pengamatan manusia pada alam.
Ilmu Pengetahuan Sehubungsn dengan Sejarah Fisika
Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
 Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F. Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan.
Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis. Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
 Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982). Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F. Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat.
Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. Berdasarkan beberapa pendapat di atas serta dikaitkan dengan permasalahan yang penulis akan jelajahi, maka penulisan ini akan difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam”, dengan pertimbangan bahwa latar belakang pendidikan penulis adalah ilmu pengetahuan alam (MIPA – Kimia).
Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Alam
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis dalam menurunkan hukum-hukumnya.
Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam. Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.
Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses alam.
Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam. Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan gejala-gejala alamiah, sebagaimana spontan disajikan kepada kita. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita.
Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian elementer lainnya. Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu.
Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat. Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999).
Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.  Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi. Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.
Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi definisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of different subtances, natural or artificial” (arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).

Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy.
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar